Thursday, October 1, 2015

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN FILSAFAT DENGAN MATEMATIKA

Jalin-menjalin antara metafisika (khususnya kosmologi yang merupakan ajaran-ajaran tentang jagad raya)  dengan matematika (khususnya geometri dan teori bilangan yang menelaah bentuk geometris dan sifat alami bilangan) sebagai mana dipadukan oleh filsuf-filsuf kuno kemudian diperkuat oleh ilmuan-ilmuan modern. Misalnya saja sebagai pelengkap dari pendapat Plato bahwa Tuhan senantiasa bekerja dengan metode geometri, ahli matematika C.G.J.Jacobi (1804-1851) menyatakan : ”God ever arithmetizes” (Tuhan senantiasa melakukan aritmatik). Pendapat Plato di atas juga terpantul dalam seni.

Suatu pristiwa terjadi dalam 1794 pada diri pelukis Inggris yang terkenal bernama William Blake (1757-1827). Ia melihat suatu pandangan khayal (vision) yang menunjukan Tuhan sedang menciptakan dunia ini dari ruang yang masih hampa dengan mempergunakan sebuah jangka sebagaimana layaknya seorang ahli geometri. Gambar bayangan itu berlangsung selama seminggu diatas tangga rumahnya sehingga akhirnya Blake memutuskan untuk melukiskan pada kanvas. Lukisan tersebut yang tampaknya mencerminkan ucapan Plato itu kini terkenal dan berjudul The anciet of Days (sepuluh Zaman).
Sejalan  artinya dengan kedua pernyataan itu seorang ahli astronomi dan fisika James H. Jeans (1877—1946) menyatakan bahwa ”the Architect of the universe now begins to appear as a pure mathematician” (Arsitek Agung dari jagat raya kini mulai tampak sebagai seorang ahli matematika murni). Sedang nama samaran Le Corbusier yang nama aslinya ialah Charles Edouard Jeanneret (887-1965) mengemukakan : ”Mathematics is the majestic structure conceved by man to grant him comprehension of the universe” (Matematika adalah struktur besar yang dibangun oleh manusia untuk memberikan pemahaman mengenai jagad raya).
Seorang ahli astronomi terkenal yang berbicara tentang matematika dalam kaitannya dengan filsafat ialah Galileo Galilei (1564-1642). Ucapannya yang banyak dikutip orang berbunyi demikian : ”Philosophy is writen in this grand book, the universe, which stands  continually open to our gaze. But the book cannot be understood  unlees one first learns to comprehend the language and read the letters in which it is composed. It is written in the language of mathematics.” (Filsafat telah ditulis dalam buku besar ini, yakni jagad raya yang terus  menerus terbang terbuka bagi pengamatan kita. Tetapi buku itu tidak dapat dimengerti jika seseorang tidak lebih dahulu belajar memahami bahasa dan membaca huruf-huruf yang dipakai untuk menyusun.Buku  itu ditulis dalam bahasa matematik).
Menurut David Bergamini bahkan ada pendapat lebih ekstrim lagi dari Sir George Biddell Airy, seorang ahli astronomi dalam abad 19 yang mendefenisikan seluruh jagad raya sebagai sebuah mesin hitung yang berjalan abadi yang perkakas dan roda giginya ialah suatu sistem tak terhingga dari persamaan-persamaan diferensial yang dapat menghitung sendiri (a perpetual-motion calculating machine  whose gears and ratchets are an infinite system of self-solving differential equations).
Dalam zaman modern hingga abad 20 ini filsafat dan matematika berkembang terus melalui budi dari tokoh-tokoh yang sekaligus merupakan seorang filsuf dan juga ahli matematika seperti misalnya :
–                      Rene Descartes (1596-1650)
–                      Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716)
–                      Auguste Comte (1798-1912)
–                      Henri Poincare (1854-1912)
–                      Alfred North Whitehead (1861-1947)
–                      Bertrand William Arthur Russell (1872-1970)
–                      Luitzen Egbertus Jan Brower (1881-1966)
–                      Hermann Weyl (1885-1955)
–                      Hans Reichenbach (1891-1953)8
–                      Alfred Tarski (lahir 1902)
–                      Frank plumpton Ramsey (1903-1930)
Demikianlah sejak permulaan sampai sekarang filsafat dan matematika terus menerus saling mempengaruhi. Filsafat mendorong perkembangan matematika dan sebaliknya matematika juga memacu pertumbuhan filsafat. Di muka telah diberikan contoh bahwa perbincangan-perbincangan paradoks dari filsuf Zeno mendorong lahirnya konsep-konsep matematik seperti variabel sangat kecil yang semakin kecil mendekati nol (infinittesimal), limit seri tak terhingga (inflinite series), dan proses konvergensi. Sebaliknya ahli-ahli matematika dengan melalui metode aljabar, tehnik simbolisme, dan teori himpunan telah membuat logika yang semula termasuk bidang filsafat berkembang begitu pesat serta memperjelas pengertian-pengertian seperti kebenaran, denotasi, konotasi dan bentuk yang digumuli oleh para filsuf. Selanjutnya matematika merupakan sumber penting yang tak kering-kering sejak zaman kono sampai abad modern bagi pemikiran filsafat karena memberikan pelbagai persoalan untuk direnungkan, misalnya persoalan apakah objek matematik (titik, bilangan) secara nyata ada ataukah hanya fisik dalam pikiran manusia,masalah apakah kebenaran matematik hanya satu macam atau banyak macamnya,dan problema apakah pengetahuan matematik bercorak ampiris atau tak bergantung pada pengalaman.
Interaksi antara filsafat dan matematika itu membuat pula adanya padanan dari konsep dan problema pada masing-masing bidang pengetahuan tersebut. Misalnya saja filsuf merenungkan soal-soal keabadian, kebetulan, evolusi, genus dan kwantitas. Sebagai padanannya ahli matematik mempelajari ketakterhinggaan probabilits, kesinambungan, himpunan dan bilangan Jadi terdapat pengertian-pengertian yang sejajar diantara kedua bidang tersebut seperti imortality-infinity (keabadia-ketakterhinggan), chance-probability (kebetulan-probabilitas) atau quantity-number (Kwantitas-bilangan). Kesejajaran ini sedikit banyak menunjukkan adanya persamaan dalam segi-segi tertentu antara filsafat dan matematika. Bilamana diikuti pendapat Plato bahwa geometri berdasarkan akal murni, bagi filsafatpun dapat dikatakan bahwa bidang pengetahuan ini mempergunakan pula akal semata-mata. Dan memang filsafat dan matematik a tidak melakukan eksperimen dan tidak memerlukan peralatan laboratorium.
Segi persamaan lainnya ialah bahwa filsafat dan matematika begerak pada tingkat generalitas dan abstraksi yang tinggi. Kedua bidang pengetahuan itu membahas pelbagai ide yang sangat umum dan lazisimnya melampaui taraf kekonkritan yang satu demi satu. Misalnya filsafat tidak mempersoalkan kayu atau logam melainkan materi pada umumnya, tidak merenungkan perwujudan satu-satu dari masing-masing benda melainkan bentuk sebagai pengertian abstrak. Demikian pula matematik tidak membahas umpamanya 2 pohon atau 3 sapi ataupun bentuk bulat dari suatu roda kayu tertentu melainkan konsep bilangan pada umumnya dan bangun-bangun geometri seperti lingkaran atau segitiga yang terlepas dari penerapan dan perwujudannya pada benda-benda fisik yang ada.
Meskipun filsafat dan matematika mempuyai segi-segi persamaan, namun, segi-segi perbedaan juga cukup menonjal. Walaupun sama-sama merupakan pengetahuan rasional, filsafat dan matematika masing-masing mempergunakan metode rasional yang berbeda. Filsafat boleh dikatakan bebas menerapkan serangkaian metode rasional yang bermacam-macam, sedang matematika hanya bekerja dengan satu metode logis, yakni deduksi. Perbedaan metode itu tampaknya disebabkan karena perbedan ruang lingkup dari hal-hal yang dapat ditelaah masing-masing. Menurut filsuf Mortimer J.Adler filsafat bersangkut-paut dengan ‘pengalaman umum dari umat manusa (comon experience of mankind) dari umat manusa (comon experience of mankind).Jadi seseorang filsuf dapat merenungkan apa saja sepanjang hal itu merupakan bagian dari pengalaman manusia. Di pihak lain matematika mencurahkan perhatiannya hanya pada segi-segi tertentu dari pelbagai hal yang ada. Dalam sejarah matematika beberapa aspek tertentu dari kenyataan yang ditelaah para ahli matematika ialah besaran (quantiy) baik yang menyangkut bilangan maupun ruangan, hubungan (relation), pola (pattern), bentuk (form), dan rakitan (structure). Penelaahan terhadap obyek matematika itu berlangsung dengan metode deduktif dan kebenaran dari hasil penelaahannya harus senantiasa dapat ditunjukan dengan serangkaian langka pembuktian. Dalam filsafat proses pembuktian itu tidak mesti terjadi tetapi yang pasti ialah bahwa filsafat harus berlangsung dengan alasan-alasan yang diperoleh dari penalaran atau dikemukakan dalam perbincangan yang rasional. Misalnya saja kalau seseorang filsuf mengemukakan pendapat bahwa realitas pada dasarnya bercorak kerohanian, ia harus menyajikan uraian-uraian yang beralasan dan masuk akal untuk mendukung pendapatnya itu.
Dalam filsafat dapat terjadi bahwa seseorang filsuf dengan uraian yang juga beralasan dan masuk akal tiba pada suatu pendapat yang bertentangan dengan pendapat filsuf lain. Misalnya sebagai lawan dari contoh pendapat di atas, aliran filsafat materialisme dengan penalaran dan perbincangan yang kuat mempertahankan pendapat bahwa realitas alam semesta ini pada dasarnya bercorak kebendaan. Jadi dalam filsafat tidak terlihat kepastian dan ketegasan seperti halnya dalam metemati. Perbedaan ini menurut filsuf Alferd Cyril Ewing dapat dikembalikan pada 3 sebab yang selengkapnya berbunyi demikian : ”Firstly, it has not proved possible to fix the meaning of terms in the same unambiguous way in philosophy as in mathematics, so that their meaning is liable imperceptibly to change in the course of an argument and it is very difficult to be sure that different philosophers are using the same word in the same sense. Secondly, it is only in the sphere of mathematics that we find simple concepts forming the basis of a vast number of complex and yet rigorously certain inferences. Thirdly, pure mathematics is hypothetical, I,e, it cannot tell us what will be the case if so and-so is true,e.g. that there will be 12 chairs in a room if there are 5+7 chairs. But philosophy aims at being categorical, I,e. telling us what realy is the case; it is therefore not adequate in philosophy, as it often is in mathematics, to make deductions merely from postulates or definitions.”
Pertama, tidaklah terbukti mungkin untuk menetapkan arti dari istilah-istilah dalam cara sama yang tak bermakna ganda pada filsafat seperti halnya dalam matematika, dengan demikian arti dari istilah-istilah itu cenderung secara tak terasa untuk berubah dalam lintasan suatu perbincangan dan sangat sukar untuk memastikan bahwa filsuf-filsuf yang berlainan akan mempergunakan perkataan yang sama dalam makna yang sama.
Kedua, hanyalah dalam lingkungan matematik kita menjumpai konsep-konsep sederhana yang menjadi dasar dari sejumlah besar penyimpulan-penyimpulan  yang rumit tetapi ternyata secara ketat bersifat past.
Ketiga, matematik murni adalah hipotetis, yaitu tidak dapat memberitahu tentang apakah yang menjadi pristiwanya dalam dunianya yang sesungguhnya, misalnya berapa banyak benda terdapat dalam suatu tempat tertentu, melainkan hanyalah apa yang akan menjadi pristiwanya kalau begini-dan-begitu adalah benar, umpamanya akan terdapat 12 kersi dalam satu kamar kalau ada 5+7 kursi. Tetapi filsafat menuju pada corak kategorikal, yakni memberitahu kita apakah senyatanya yang merupakan kususnya; karena tidaklah memadai dalam filsafat sebagaimana halnya sering dalam matematik untuk membuat deduksi-deduksi semata-mata dari patokan pikir atau batasan).
Akhirnya dalam hubungannya dengan deduksi-deduksi yang dibuat matematika oleh matematika itu filsuf Inggris C.D. Broad dalam bukunya Scientific Thought (1949) menegaskan suatu perbedaan lagi antara filsafat dengan matematika. Dalam bidang matematika orang dengan berpangkal pada oksioma-oksioma yang tak diragukan atau premisis-premisis yang dianggap sebagai hipotese menurunkan kesimpulan-kesimpulan sampai yang jauh sekali.sebaliknya filsafat tidak berminat terhadap kesimpulan-kesimpulan yang jauh, melainkan terutama bersangkut paut dengan analisis dan penilaian dari premisis-premisis semulah.
Demikianlah hubungannya dengan yang demikian erat selama berabad-abad antara filsafat dengan matematika berikut segenap segi persamaannya tak diragukan lagi telah menumbuhkan suatu bidang pengetahuan yang dewasa ini sangat menarik perhatian sebagian ahli filsafat atau ahli matematika ataupun ahli kedua-duanya filsafat dan matematika.

sumber :
https://navelmangelep.wordpress.com/2011/11/14/persamaan-dan-perbedaan-filsafat-dengan-matematika/

No comments:

Post a Comment

How To Solve it - G Polya

Yosh hari ini sangat menarik, pembahasan mengenai "How to Solve it" yang di cetuskan oleh G Polya. Apasih itu?, kita sebagai man...