- Tema-tema dalam filsafat Islam.
1. Metafisika.
Didalam isu-isu filsafat islam mengenai
pembahasan metafisika, kami mengambil teori dari Abu Muhammad ibn Muhammad ibn
Tarkhan ibn Auzalagh, yang terkenal dengan nama Alfarabi. Seorang filosof yang
lahir pada tahun 257H (870M).
Dalam karyanya yang berjudul Falsafah
Aristhuthahlis, ia menjelaskan bahwa metafisika itu adalah ilmu yang
mempelajari eksistensi-eksistensi (maujud-maujud), dan ada muatan ganda yaitu
tentang wujud dan teologi. Artinya bahwa metafisika itu ilmu yang mempelajari
tentang konsep-konsep umum tentang wujud, spesies aksiden, kesatuan, sedangkan
teologi itu sendiri adalah sebagai bagian dari ilmu universal tersebut, karena
Tuhan secara umum adalah prinsip wujud. Menurut al-Farabi ada tiga masalah
penting mengenai metafisika yaitu esensi, eksistensi sesuatu, pokok utama
segala yang maujud, dan dan prinsip utama mengenai gerak dasar menurut ilmu
pengetahuan.
Al-Farabi memulai pembahasan mengenai
wujud pertama, sifat-sifat, dan cara-cara-Nya menimbulkan segala sesuatu
melalui proses emanasi. Wujud pertama ini menurutnya itu adalah sebagai sebab
pertama atau penyebab bagi yang lain. Bersifat sempurna, kekal abadi, terhindar
dari keterbatasan, berbeda dengan wujud yang merupakan akibat dari-Nya,
wujudnya bukan atas dasar suatu tujuan karena jika begitu, maka tujuan itu
adalah lebih awal dari-Nya, tentu yang dimaksud disini adalah Tuhan.
Al-Farabi membagi wujud menjadi dua: wajib
al-wujud yang merupakan wujud niscaya dan mumkin al-wujud yang wujudnya itu
tidak niscaya, karena wujudnya bergantung pada wujud yang sebelumnya. Dan untuk
menerangkan sifat-sifat-Nya itu al-Farabi merujuk pada Al-Quran sepertial-‘alim, al-hakim, al-haq dan
sebagainya.
Emanasi pada dasarnya itu bermula pada
bentuk tunggal dan bertingkat sampai akhirnya menimbulkan atau menciptakan
segala sesuatu yang beraneka ragam. Wujud Allah itu adalah wujud mutlak yang
berfikir, sebelum adanya wujud-wujud selain diri-Nya. Yaitu berfikir tentang
dirinya yang akhirnya memancarkan akal pertama. Dan akal pertama ini juga
berfikir tentang Allah dan terpancarlah akal kedua, kemudian proses ini
berjalan terus menerus sampai pada akal yang kesepuluh. Dan akal kesepuluh ini
adalah wujud terendah dalam tingkatan-tingkatan wujud immaterial, dimana akal
kesepuluh ini sebagai adalah akal terakhir.
Secara lebih jelas proses terjadinya emanasi menurut
al-Farabi dapat dijelaskan demikian: Tuhan sebagai wujud pertama dan akal murni
dengan menjadikan dirinya sebagai subjek dan sekaligus objek melakukan ta’aqqul (berpikir)
sehingga terjadilah pelimpahan. Wujud pertama lahir (wujud kedua dalam urutan emanasi disebut al-Aql
al-Awwal). Akal pertama lalu berpikir, memikirkan dirinya sendiri
memunculkan al-aqlu al-sani (akal kedua) dan bertaaqqul
terhadap dirinya sendiri melahirkan al-samaul ula (langit
pertama). Dengan munculnya langit pertama, mulai dari siniemanasi tunggal
berubah menjadi plural. Akal kedua atau wujud ketiga berpikir tentang wujud
pertama melahirkan al-aqlu al-salis (akal ketiga) atau wujud
keempat atau taaqul-nya terhadap dirinya sendiri menimbulkan kurratu
al-kawakib atau sabitah (bintang-bintang) begitulah
seterusnyataaqul akal atau wujud keempat melimpahkan akal keempat
atau wujud kelima hingga sampai akal kesepuluh atau wujud ke sebelas.
2. Moral
Berbeda yang kami jelaskan pada filsafat
moral dari barat yakni dari seorang filosof David Hume, yang akan dibahas
berikut. Namun sekarang adalah pembahasan mengenai pandangan filsafat moral
dari seorang filsafat islam Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar-Razi (864-925M),
yang lebih dikenal dengan Ar-Razi.
Ar-Razi, menjelaskan tentang filsafat
moralnya itu dengan baik, ia menjelaskan tentang tindakan-tindakan, atau
sifat-sifat buruk, seperti iri hati, dusta, dan ia juga menjelaskan tentang
kebahagiaan, kesenangan dan yang lainya.
Ia dalam teorinya tentang kesenangan,
menjelaskan bahwa kebahagiaan ialah kembalinya apa yang telah tersingkir dari
kemudharatan, seperti orang yang meninggalkan tempat teduh menuju tempat yang
terkena sinar matahari yang panas akan senang ketika kembali ketempat teduh.1
Keseluruhan etikanya difokuskan pada
himbauan akal yang mengontrol hawa nafsu, yaitu penting memerangi, dan menekan
dan mengendalikan hawa nafsu. Mungkin inilah perbedaanya dengan David Hume yang
mengatakan moralitas itu tidak ada kaitanya dengan akal. Sedangkan Ar-Razi yang
sudah dikatakan diatas akal yang memfokuskan kajianya mengenai ini dengan
himbauan akal. Dari sini kita sudah bisa menemukan perbedaanya antara David
Hume dari filsafat Barat dan Ar-Razi dari filsafat Islam.
3. Jiwa
Pada pembahasan jiwa kali ini mengenai
pandangan filsafat islam tentang jiwa, ada beberapa tokoh filosof yang kami
sajikan salah satunya dari ikhwan Ash-Shafa.
Ikhwan Ash-Shafa juga mengatakan bahwa
manusia itu terdiri dari dua unsur, yang pertama adalah tubuh yang bersifat
materi yang terdiri dari air, tanah, api dan udara. Kemdian yang kedua adalah
jiwa yang bersifat immateri. Masuknya jiwa kedalam tubuh yaitu karena jiwa
melakukan kesalahan seperti Nabi Adam As dan Hawa. Karena kesalahan itu jiwa
yang tadinya dialam rohani turun kebumi dan merasuk ketubuh, yang tadinya punya
banyak pengetahuan karena masuk kedalam tubuh jiwa menjadi lupa, jadi
mengetahui apa-apa. yang ada hanyalah pengetahuan secara potensi. Namun karena
jiwa memiliki tubuh jadi ia bisa kembali mendapatkan dan menerima pengetahuan
secara actual.
Ketika jiwa itu kembali menerima dan
mendapatkan pengetahuan dengan benar, jiwa manusia menjadi suci, dalam hal ini
ia menyebutnya sebagai malaikat dalam potensi, kemudian ketika manusia
mengalami kematian lepasnya jiwa dari tubuh, barulah jiwa mengaktual menjadi
malaikat. Sebaliknya jika jiwa manusia kebanyaan dosa dan kotor, maka disebut
setan dalam potensi, kemudian setelah mati barulah jiwa mengaktual menjadi
setan.
Berbeda dengan Nasiruddin Ath-Thusi
(1201M) yang membagi jiwa kedalam tiga bagian yaitu jiwa manusiawi, hewani, dan
yang terakhir jiwa imajinatif. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal, dari
sini ia membagi akal toeritis dan akal praktis. Akal teoritis merupakan
potensialitas, yang perwujudanya adalah konsep yang menjadi nyata terlihat dan
pengetahuan. Sedangkan akal praktis itu terkait dengan tindakan-tindakan yang
disengaja atau tidak disengaja.
Jiwa imajinatif berkaitan dengan
gambaran-gambaran rasa atau perasaan, yang mana jika ia disatukan dengan jiwa
hewani yang terjadi adalah kehancuran karena jiwa hewani itu hanya mendorong
kita akan kepuasan dan kesenangan (hawa atau nafsu). Namun jika disatukan
dengan yang jiwa manusiawi maka akan akan ikut bergembira atau bersedih bersema
jiwa itu.
Ar-Razi membagi tentang manusia itu badan
dan roh atau jiwa, orang-orang yang mengatakan hal ini berbeda pendapat dalam
penetapan spesifik ini:
Empat macam komponen atau campuran yang
kemudian mewujudkan badan ini.
Maksudnya adalah darah.
Roh yang lembut dan muncul disisi kiri
dari hati, dan mengakses sel-sel keseluruh anggota badan.
Roh yang naik didalam hati ke otak,
kemudian membentuk proses yang selaras untuk menerima kekuatan menghafal dan
berfikir dan mengingat.
Fisik yang berbeda dengan badan yang dapat
diraba ini yang bersifat tinggi, ringan, hidup, yang menyebar kesuluruh tubuh
dan memberi pengaruhnya yang berupa rasa dan gerakan.2
Bisa kita bandingkan dengan pembahasan
jiwa yang dibahas Plato dengan teori jiwa tripatitnya yang kami bahas berikut,
mungkin terlihat sama dengan milik At-Thusi namun dalam istilah berbeda, tapi
Ath-Thusi sedikit lebih lengkap karena ia membagi lagi konsep jiwa manusiawinya
yang dalam istilah pembahasan Plato disebut akal. Sedangkan Ikhwan Ash-Shafa
agak sedikit sederhana. Dan Ar-Razi yang berbeda penjelasanya dan pembagianya,
namun ada sedikit kesamaan.
Eskatologi.
Masalah kebangkitan adalah salah satu
masalah filsafat dan juga teologi, ini terkait dengan mungkin ataukah mustahil
ada kehidupan setelah mati, atau menghidupkan kembali apa-apa yang sudah mati.
Demikian juga kaitanya dengan masalah jiwa itu kekal atau tidak,dan terdiri
dari apakah tubuh itu, bisa juga apasih tubuh manusia itu, karena dari situ
kita bisa melihat bahwa jika manusia dibangkitkan kembali dari kematianya, maka
yang bangkit itu jiwa atau tubuh (raga) nya.
Para filosof juga berbeda pendapat
mengenai masalah kebangkitan apakah tubuh dan jiwa atau kah jiwa saja yang
dibangkitkan. Namun salah satu dari filosof islam yaitu Ibn Sina (Avicienna)
percaya kebangkitaan. Dalam salah satu bukunya Al-Syifa, dan Al-Isyarat,
dia ingin membuktikan bahwa pahala dan dosa itu dibagikan secara merata kepada
tubuh (badan) dan jiwa. Ia mengatakan bahwa bukti kebangkitan dapat diambil
dari pengetahuan agama, namun untuk membuktikan kebenaran kejadianya, itu kita
harus melihat pada syariah dan hadis nabi, yakni tentang terjadinya kebangkitan
jasmani, kebahagiaan jiwa dan kesengsaraannya dapat dibuktikan secara rasional
melalui deduksi logika dan Al-Quran dan Hadis yang diakui oleh nabi.3 Filosof Shadr Al-Din Syirazi juga membahas
tentang kebangkitan, dan ia juga sama membuktikannya dengan Al-Quran dengan
Sunnah.
Masalah mengenai jiwa atau badan yang
bangkit ataukah dua-duanya itu merupakan masalah yang bukan sederhana, karena
begitu banyak pendapat mengenai hal ini. Ada golongan yang menyatakan yang mati
itu adalah roh atau jiwa dengan dalil bahwa tidak ada yang kekal kecuali Allah
semata, Allah berfirman “dan, tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman:27).
Sebagian orang yang menyatakan bahwa badan
itulah yang mati dengan argumrn banyak hadis menunjukan kenikmatan dan siksaan
roh setelah mati, Allah berfirman: “ Janganlah kamu mengira bahwa
orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup disisi
Rabbnya dengan mendapati rezki, mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia
yang diberkan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang
yang masih tinggal dibelakang.” (Ali Imran:169-170).
Yang menyatakan badan dan roh yang hidup
adalah sebagai berikut “ Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu
dengan hati yanga puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jama’ah
hamba-hambaku, dan masuklah kedalam surgaku.” (Al-Fajr:27-30).
Dan Allah berfirman,“ Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan
kejadianmu dan menjadikanya (susunan tubuh)mu seimbang. “ (Al-Infithar:7).
Dapat kita ketahui dari sini bahwa suatu jiwa atau roh membentuk rupa tertentu
dibadan, yang membedakanya dengan yang lain. Ia badan yang baik dan yang buruk
akan memperoleh hasil dari kebaikan dan keburukannya dan roh yang baik dan yang
buruk juga akan memperoleh kebaikan dan keburukanya.4
4. Kenabian
Banyak pandangan mengenai teori kenabian
menurut beberapa filosof, beberapa teori ini beraneka ragamnya, dari mulai
Ar-Razi, Al-Farabi, Ibn miskawih, sampai Nasiruddin At-Thusi. Kami mewakilkan
teori kenabian berdasarkan para filosof ini.
Ar-Razi adalah seorang filsafat rational
murni, ia sangat menjunjung tinggi akal. katanya manusia mempunyai akal yang
membedakan dari hewan dan yang lainya, yang bisa memperoleh banyak pengetahuan,
bahkan akal bisa mengetahui pengetahuan tentang Tuhan. Ia berpendapat bahwa
manusia itu tidak butuh nabi dalam bukunya Naqd al-adyan au fi
al-nubuwwah (kritik terhadap agama-agama atau kenabian) nabi tidak
boleh atau tidak berhak mengklaim bahwa dirinya itu mempunyai keistimewaan,
karena semua manusia dimana Tuhan itu adalah sama, yang membedakan adalah
pendidikan dan perkembanganya. Setiap bangsa hanya percaya pada nabinya saja
dan tidak mengakui nabi yang lain, dan fanatik terhadap agamanya, sehingga
menimbulkan perpecahan dan kekacauan.
Mungkin karena pendapatnya yang ekstrim
ini bukunya-bukunya dimusnahkan. Tapi perlu digaris bawahi bahwa ia adalah
seorang filosof rasional murni. Banyak orang beranggapan bahwa Ar-Razi itu
zindik bukan islam. Menurut Abd al-Lathif Muhammada al-Abad, mereka tidak
melihat karya-karyanya yang lain, Ar-Razi mengakui adanya Tuhan yang Maha
Bijaksana dan hari akhir bahkan dalam kitabnya Sirr al asrar atau Bar’u
al sa’an ia tidak lupa shalawat kepada nabi.
Al-Farabi dengan teori kenabianya itu
karena termotivisir pemikiran filosof sebelumnya yang berpendapat bahwa manusia
tidak butuh nabi, karena filosof juga bisa menangkap hal-hal yang diluar
jangkauan indera dan sehingga dapat berhubungan dengan akal 10 (jibril).
Menurutnya manusia dapat berhubungan
dengan akal Fa’al itu dengan dua cara: pertama penalaran, renungan pikiran dan
kemudian yang kedua adalah imajinasi, intuisi atau ilham. Cara yang pertama itu
hanya mungkin diraih oleh orang-orang pilihan yang sudah melatih akalnya, dalam
hal ini kita sebut filosof. Sedangkan cara yang kedua itu hanya nabi yang bisa
karena mempunyai daya intuisi yang tinggi, disamping itu nabi dianugerahi akal
dengan kekuatan suci, dan nabi juga berhubungan dengan akal 10 secara langsung.
Al-Farabi mennjelaskan bahwa perbedaan
antara filosof dan nabi itu adalah bahwa setiap nabi itu filosof, namun setiap
filosof belum tentu nabi.
Bagaimana dengan Nasiruddin At-thusi? Ia
menjelaskan bahwa mempunyai sifat seperti kebebasan bertindak, sehingga hal ini
menimbulkan konsekuensi terjadinya kekacauan didunia, oleh karena itu manusia
perlu peraturan Tuhan yang suci untuk membibing manusia. karena Tuhan tidak
terjangkau maka manusia memerlukan nabi, yang nantinya bisa mengatur kehidupan
social, politik, dan moralitas manusia.
Sedangkan Ibn Miskawih penjelasanya hampir
sama dengan al-Farabi. Manusia itu butuh nabi karena nabi itu sumber informasi-informasi
untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan dan moralitas dengan yang baik. Menurutnya
filosof memperoleh pengetahuan itu pertama dari daya indera, terus kedaya
khayal, kemudian kedaya pikir, dan bisa berhubungan dengan akal aktif (Jibril),
sedangkan nabi mendapatkan secara langsung dari akal aktif atau jibril.
- Segelintir pembahasan dalam filsafat Barat.
a. Moral
David Hume (1711-1776) seorang tokoh utama
empirisme, yang mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengetahui sesuatu atau
pengetahuan diluar pengalaman. Dairi sini maka sudah tentu Hume menyankal
segala masalah metafisika.
Mengenai masalah etika atau moral hume
mengatakan bahwa tidak ada yang baik dan buruk, artinya dalam penilaian suatu
kejadian atau tindakan itu pada dirinya tidak ada baik dan tidak ada buruk
(jahat). yang ada ada adalah penilaian dari emosi atau perasaan kita mengenai
suatu kejadian itu. Contohnya adalah ketika ada seorang anak memukul ayahnya,
dalam kejadian ini itu sesungguhnya tidak baik atau buruk, artinya baik dan
buruk itu tidak kelihatan. Barulah ketika emosi atau perasaan kita bereaksi
dengan spontan menilai ini seperti ini, atau itu seperti itu.
Maka menutut David Hume moralitas itu
hanya hal mengenai perasaan. Seluruh moralitas hanyalah satu sistem yang
denganya kita mengatur pengalaman yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan
dengan cara yang berguna bagi kehidupan bersama.
Dengan demikian Hume berbeda dengan
filsafat tradisional yang beranggapan bahwa bersifat moral itu adalah yang
menurut pada akal. Penjelasanya yaitu bahwa didalam diri manusia itu terdapat
akal budi dan emosi, ketika emosi mucul secara spontan kemudian akal budi
mengetahui mana yang benar mana yang salah, maka akal memberitahu atau
mengarahkan emosi bertindak kepada yang baik.
Hume menyatakan moralitas itu tidak ada
kaitanya dengan akal budi. misalkan kita contohkan ketika kita marah pada
seorang teman kita karena suatu hal, tentunya teman kita adalah objek sasaran
kita, tapi kita malah menluapkan kemarahan kita dengan tindakan merusak tanaman
atau memukul pohon, tentunya tindakan ini tidak rational. Atau ketika kita
merasa takut setentgah mati ketika melihat bayangan yang besar, padahal itu
hanyalah bayangan dari seseorang atau suatu benda, ini juga tidak rasional.
Maka dari itu ia mengatakan bahwa pandangan moral itu tidak ada sangkut pautnya
dengan akal. Kemudian mengenai penilaian-penilaian moral juga tidak ada
hubunganya dengan akal. Nilai-nilai moral atau tindakan baik atau jahat itu
tidak melekat pada sifat orang itu dan tindakanya, karena ini hanya merupakan
reaksi dari pengamat yang menilainya.
Manusia secara alami meminatidan menyukai
kenikmatan dan membenci sekaligus menolak apa yang terasa tidak nyaman dan
tidak enak pada dirinya. Maka dari itu moralitas hanyalah masalah perasaan.
Kemudian bagaimanakah cara penilaian moral itu? Hume mengatakan bahwa moralitas
mesti berdasarkan emosi hati manusia yang tidak egois menguntungkan diri
sendiri. Menurut Hume perasaan ini disebut sebagai cinta kemanusiaan. Karena
didalam setiap individu-individu seseorang memiliki cinta kemanusiaan, inilah
yang menjadi dasar moralitas umum dan dasar moralitas manusia.
b. Jiwa
Plato mengamati bahwa manusia itu
mempunyai esensi. Disamping tubuh (raga) manusia juga mempunyai jiwa, dan ini
bukan merupakan hal yang sederhana. Manusia mempunyai tiga elmen, yang pertama
adalah yang membedakan manusia dengan yang lainya yaitu akal untuk berfikir,
dan kemampuan menggunakan bahasa, kemudian yang kedua adalah elmen rohaniah
yaitu rasa benci, cinta, ambisi, semangat, kemarahan, melindungi diri dan yang
lainya, kemudian yang terakhir yaitu yang ketiga adalah nafsu badaniah ang
berupa dorongan untuk memuaskan hasrat, dan kebutuhan.
Plato menjelaskan ketiga elmen tersebut
bahwa elmen pertama yaitu akal adalah tingkatan paling tinggi karena dapat
menilai dan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, oleh karena itu
akal menduduki tingkatan pertama, kemudian tingkatan yang kedua itu adalah
elmen rohaniah dam yang terakhir itu adalah hawa nafsu merupakan elemen pada
tingkatan terendah. Teori ini disebut dengan teori jiwa tripatit.
Jadi bisa dilihat dari penjelasan singkat
mengenai teori jiwa tripatit ini, kita bisa tarik kesimpulan karena kemampuan
manusia dalam tingkah berfikir itu berbeda-beda, buktinya ada yang bisa menjadi
dokter, filosof, bahkan tukang cuci dsb. Tergantung manusia itu sendiri
menggunakan akalnya seberapa jauh. Begitu juga mengenai hawa nafsu dan
kerohaniaan, manusia mempunyai kecendrungan berbeda, dan juga tingkatanya.
Didalam jiwa juga mempunyai konflik, ketika
tingkatan tertinggi dari elmen pertama akal, akan dihadapkan kepada
situasi-situasi tertentu. Misalkan ketika seseorang menemukan dalam jumlah
besar, hawa nafsu mendorong untuk mengambilnya, tetapi akal berkata lain, untuk
mengambil uang itu karena bukan miliknya. Lalu bagaimana mengatasi konflik
jiwa, agar kualitas jiwa meningkat? Plato menganalogikan seperti berikut:
manusia sebagai akal, elmen rohani sebagai singa, kemudian hawa nafsu sebagai
naga berkepala banyak. Untuk menyatukan jiwa atau meningkatkanya yaitu dengan
cara membujuk singa untuk membantu manusia menjaga naga agar tetap terawasi.
Artinya dari analogi diatas bahwa
elmen-elmen itu harus semuanya digunakan dalam artian semuanya harus seimbang
antara elemen satu dengan elmen yang lainya untuk menyatukan jiwa Begitulah
salah satu teori jiwa filsafat barat, yang kami ambil dari seorang filosof
yaitu Plato.
Sumber:
No comments:
Post a Comment