Konsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus
lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui fakta, tetapi harus
mencari nilai. Karena sikap apapun, ideal mana saja, maksud apa saja, maksud
apa saja, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka nilai harus
merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan. Dalam sejarah filsafat
telah muncul sejumlah nilai.
1. Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan
Sehari-hari
Diskusi pada umumnya menunjukkan sikap aksiologi yang
ekstrim. Bila dua orang tidak sependapat mengenai makanan atau minuman yang
menyenangkan atau tidak, dan mereka gagal untuk saling meyakinkan, diskusi pada
umumnya berakhir dengan pernyataan dari salah satu di antara kedua belah pihak
bahwa dia menyenangi atau tidak menyenangi hal itu, dan tidak seorang pun yang
dapat meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat persoalan dalam sebuah diskusi
di antara dua orang terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang sering
diucapkan: “selera tidak dapat diperdebatkan” (de gustibus non disputandum).
Orang yang mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu
ciri khas nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat menggelitik bagi
aksiologi kontemporer. Sebenarnya, hal itu lahir bersama aksiologi itu sendiri
dan sejarah teori nilai dapat ditulis, dengan memandang persoalan ini sebagai
sumber dan dengan mensketsakan berbagai penyelesaian yang telah dikemukakan
dalam rangka menyelesaikannya. Meskipun maknanya mungkin berbeda, persoalan
tersebut telah muncul pada Plato; shakespeare yang menempatkannya dalam Troilus
and Cresida (II,2) dan Spinoza memilih salah satu alternatif di dalam Etika-nya
(III, prop.IX).
2. Nilai
itu Obyektif atau Subyektif
Inti persoalan tersebut dapat dinyatakan dengan
pertanyaan berikut: apakah obyek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya,
atau apakah kita mendambakannya karena obyek tersebut memiliki nilai? Apakah
hasrat, kenikmatan atau perhatian yang memberikan nilai kepada suatu obyek,
ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena kenyataan bahwa obyek
tersebut memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan
organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan
tradisional: apakah nilai itu obyektif atau subyektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti itu, sebelumnya
diperlukan penjelasan istilah untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak ke
dalam disputatio de nominem. Nilai itu “obyektif” jika ia tidak
tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu“subyektif”
jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi
subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat
psikis ataupun fisis.
a) Obyektivisme
atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur
atau berada dalam obyek atau berada pada realitas obyektif (kata Alexander); atau
ia dianggap berasal dari suatu obyek melalui ketertarikan (kata Spinoza).
Penetapan sebuah nilai memiliki makna, yakni benar atau salah, meskipun nilai
itu tidak dapat diverifikasi, yakni tidak dapat dijelaskan melalui suatu
istilah tertentu. Nilai berada dalam suatu obyek seperti halnya warna atau
suhu. Nilai terletak dalam realitas. Bahwa nilai-nilai – seperti kebaikan,
kebenaran, keindahan - ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai
entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa niali-nilai adalah obyektif,
dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan
rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Pendukung
obyektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas,
Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander, dan
lain-lain.
b) Subyektivisme
Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan pandangan ini mereduksi
penentuan nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan ke dalam statmen
yang berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu obyek atau situasi. Penentuan
nilai sejalan dengan pernyataan setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas
hanya sebagai suatu keadaan pikiran terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori
etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai
kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi
ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan pengalaman
manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas yang independen (relativisme
aksiologis). Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis adalah Hume,
Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain. Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila
nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku
serta abasah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa
memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa
semua nilai relatif sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.
3. Relasionisme
Aksiologis
Nilai tidak bersifat privat (subyektif), tetapi
bersifat publik, meskipun tidak bersifat obyektif dalam arti tidak terlepas
dari berbagai kepentingan. Penganjur relasionisme aksiologis di antaranya
Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-lain.
4. Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme
Aksiologis)
Teori-teori yang didasarkan pada pandangan ini
mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk
yang semuanya tidak faktual. Ilmu tentang nilai aksiologi adalah mustahil.
Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi
kebaikan mungkin saja secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau suatu
obyek, walaupun bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan antara makna faktual dan
makna emotif. Catatan sejarah menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal
dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan
dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara faktual. Nilai sama sekali
tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subyek, obyek ataupun sebagai
hubungan. Pendukung emotivisme antara lain: Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson,
Schlick, Carnap, dan lain-lain.
5. Nilai dan Kebaikan
Sebelum masa Rudolf H. Lotze (1817-1881) para filsuf
hanya kadang-kadang saja membicarakan tentang nilai. Sehubungan dengan nilai,
sesungguhnya filsafat selalu bergelut dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan
kebaikannya (bonum et bonitas). Filsafat nilai pada zaman modern (Max
Scheler) yang bermula dari Lotze membuat pembedaan tajam antara nilai dan
kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari
dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia nyata dengan peralatan
manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori “idealisme nilai”. Lawan idealisme
nilai adalah realisme nilai atau lebih baik, metafisika nilai,
yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada (al-mawjud).
6. Nilai dan Persepsi
Ciri khusus dari persepsi-nilai tergantung pada sifat
hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama
sekali tidak dapat dimasuki oleh akal manusiawi yang tertuju pada eksistensi.
Karena nilai itu menampakkan dirinya hanya kepada perasaan emosional, akibatnya
terdapat sejenis irasionalisme-nilai. Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai
yang mereduksikan ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua
ekstrim ini terdapat hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena
persepsi-nilai intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.
No comments:
Post a Comment