Wednesday, November 25, 2015

Teori Nilai(konsep nilai)

Konsep Nilai dalam teori nilai di filsafat

Konsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta. Kita memang hanya mengetahui fakta, tetapi harus mencari nilai. Karena sikap apapun, ideal mana saja, maksud apa saja, maksud apa saja, atau tujuan mana saja pasti mempunyai nilai, maka nilai harus merupakan objek preferensi atau penilaian kepentingan. Dalam sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu obyek. Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (disire). Suatu obyek menyatu dengan nilai melalui keinginan aktual atau yang memungkinkan, artinya suatu obyek memiliki nilai karena ia menarik. Menurut kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik obyek itu sendiri-obyektivisme aksiologis.
1.  Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan Sehari-hari
Diskusi pada umumnya menunjukkan sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua orang tidak sependapat mengenai makanan atau minuman yang menyenangkan atau tidak, dan mereka gagal untuk saling meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir dengan pernyataan dari salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia menyenangi atau tidak menyenangi hal itu, dan tidak seorang pun yang dapat meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat persoalan dalam sebuah diskusi di antara dua orang terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang sering diucapkan: “selera tidak dapat diperdebatkan” (de gustibus non disputandum). Orang yang mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu ciri khas nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat menggelitik bagi aksiologi kontemporer. Sebenarnya, hal itu lahir bersama aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai dapat ditulis, dengan memandang persoalan ini sebagai sumber dan dengan mensketsakan berbagai penyelesaian yang telah dikemukakan dalam rangka menyelesaikannya. Meskipun maknanya mungkin berbeda, persoalan tersebut telah muncul pada Plato; shakespeare yang menempatkannya dalam Troilus and Cresida (II,2) dan Spinoza memilih salah satu alternatif di dalam Etika-nya (III, prop.IX).

2.  Nilai itu Obyektif atau Subyektif
Inti persoalan tersebut dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah obyek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya karena obyek tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian yang memberikan nilai kepada suatu obyek, ataukah sebaliknya, kita mengalami preferensi ini karena kenyataan bahwa obyek tersebut memiliki nilai yang mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita? Atau, jika orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan tradisional: apakah nilai itu obyektif atau subyektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti itu, sebelumnya diperlukan penjelasan istilah untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam disputatio de nominem. Nilai itu “obyektif” jika ia tidak tergantung pada subyek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu“subyektif”  jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subyek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis.
a)  Obyektivisme atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur atau berada dalam obyek atau berada pada realitas obyektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal dari suatu obyek melalui ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai memiliki makna, yakni benar atau salah, meskipun nilai itu tidak dapat diverifikasi, yakni tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah tertentu. Nilai berada dalam suatu obyek seperti halnya warna atau suhu. Nilai terletak dalam realitas. Bahwa nilai-nilai – seperti kebaikan, kebenaran, keindahan  - ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa niali-nilai adalah obyektif, dalam arti bahwa nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Pendukung obyektivisme aksiologis mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban, Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander, dan lain-lain.
b)  Subyektivisme Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan pandangan ini mereduksi penentuan nilai-nilai, seperti kebaikan, kebenaran, keindahan ke dalam statmen yang berkaitan dengan sikap mental terhadap suatu obyek atau situasi. Penentuan nilai sejalan dengan pernyataan setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas hanya sebagai suatu keadaan pikiran terhadap suatu obyek.
Subyektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam suatu pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan pengalaman manusia tentangnya; nilai tidak memiliki realitas yang independen (relativisme aksiologis). Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis adalah Hume, Perry, Prall, Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain. Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abasah sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.

3.  Relasionisme Aksiologis
Nilai tidak bersifat privat (subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun tidak bersifat obyektif dalam arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur relasionisme aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan lain-lain.

4.  Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme Aksiologis)
Teori-teori yang didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk yang semuanya tidak faktual. Ilmu tentang nilai aksiologi adalah mustahil. Ajaran G. E. Moore tentang kebahagiaan yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau suatu obyek, walaupun bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan antara makna faktual dan makna emotif. Catatan sejarah menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara faktual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subyek, obyek ataupun sebagai hubungan. Pendukung emotivisme antara lain: Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick, Carnap, dan lain-lain.

5.  Nilai dan Kebaikan
Sebelum masa Rudolf H. Lotze (1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang saja membicarakan tentang nilai. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat selalu bergelut dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum et bonitas). Filsafat nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula dari Lotze membuat pembedaan tajam antara nilai dan kebaikan. Karena nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang dapat diperkenalkan kepada dunia nyata dengan peralatan manusia, pandangan ini pantas dinamakan teori “idealisme nilai”. Lawan idealisme nilai adalah realisme nilai atau lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan nilai dari yang ada (al-mawjud).

6.  Nilai dan Persepsi

Ciri khusus dari persepsi-nilai tergantung pada sifat hakiki nilai itu sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat dimasuki oleh akal manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Karena nilai itu menampakkan dirinya hanya kepada perasaan emosional, akibatnya terdapat sejenis irasionalisme-nilai. Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai yang mereduksikan ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua ekstrim ini terdapat hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena persepsi-nilai intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.

No comments:

Post a Comment

How To Solve it - G Polya

Yosh hari ini sangat menarik, pembahasan mengenai "How to Solve it" yang di cetuskan oleh G Polya. Apasih itu?, kita sebagai man...