Di dalam Tambo Tulangbawang, Primbon
Bayah, dan berita Cina, orang menyebut daerah Banten dengan nama Medanggili.
Sebutan ini setidaknya berlaku hingga abad ke-13. Sementara itu, sumber Cina
yang berjudul Shung Peng Hsiang Sung, yang diperkirakan ditulis
tahun 1430, memberitakan bahwa Banten merupakan suatu tempat yang berada dalam
beberapa rute pelayaran yang dibuat Mao’Kun pada sekitar tahun 1421. Rute
pelayaran itu adalah Tanjung Sekong-Gresik-Jaratan; Banten-Timor; Banten Demak;
Banten-Banjarmasing; Kreug (Aceh)-Barus-Pariaman-Banten. Sementara dalam
buku Ying-Yai-She-Lan (1433) Banten disebut Shut’a yang
sangat dekat pelafalannya dengan Sunda. Buku ini merupakan laporan ekspedisi
Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan ke beberapa
tempat di Pulau Jawa.
Dalam catatan orang Eropa yang berasal dari catatan
laporan perjalananTome Pires (1513), Banten digambarkan sebagai
sebuah kota pelabuhan yang ramai dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda.
Catatan itu menjelaskan juga bahwa Banten merupakan sebuah kota niaga yang baik
karena terletak di sebuah teluk dan muara sungai. Kota ini dikepalai oleh
seorang syahbandar dan wilayah niaganya tidak hanya menjangkau Sumatera
melainkan juga sampai di Kepulauan Maldwipa. Barang dagangan utama yang
diekspor dari pelabuhan ini ialah lada, beras, dan berbagai jenis makanan
lainnya.
Selain dari sumber asing, ada juga sumber lokal yang
menyebut-nyebut Banten. Carita Parahiyangan yang ditulis pada
tahun 1518 menyebutkan adanya sebuah tempat yang bernama Wahanten
Girang yang terletak agak ke pedalaman. Wahanten Girang dapat
dihubungkan dengan nama Banten, bahkan oleh sebagian orang nama kota ini
dipandang sebagai kata asal bagi nama Banten.
Pada pertengahan abad ke-16, Banten bukan hanya sebagai
pelabuhan dagang saja, melainkan juga telah tumbuh sebagai pusat kekuasaan
(kerajaan). Kesultanan Banten didirikan oleh dua unsur utama, yaitu
kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yang merintis berdirnya
Kesultanan Banten terdiri atas tiga kekuatan utama yaitu Demak, Cirebon, dan
Banten sendiri dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah, dan Maulana Hasanuddin
sebagai pelopornya
Sebelum Banten berwujud sebagai suatu kesultanan,
wilayah ini termasuk bagian dari kerajaan Sunda (Pajajaran). Agama resmi
kerajaan ketika itu adalah agama Hindu. Pada awal abad ke-16, yang berkuasa di
Banten adalah Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten
Girang (Banten Hulu). Surosowan (Banten Lor) hanya berfungsi sebagai pelabuhan.
Menurut berita Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis, di antara
pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, pelabuhan Sunda Kelapa
dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi
pedagang-pedagang dalam dan luar negeri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil
negeri lainnya di ekspor.
Menurut Babad Pajajaran, proses awal masuknya Islam di
Banten mulai ketika Prabu Siliwangi, salah seorang raja Pajajaran, sering
melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. Untuk mencari keterangan tentang
arti cahaya itu, ia mengutus Prabu Kian Santang, penasihat kerajaan Pajajaran,
untuk mencari berita mengenai hal ini. Akhirnya Prabu Kian Santang sampai ke
Mekah. Di sana ia memperoleh berita bahwa cahaya yang dimaksud adalah nur Islam
dan cahaya kenabian. Ia kemudian memeluk agama Islam dan kembali ke Pajajaran
untuk menyebarkan luaskan agama Islam ke masyarakat. Upaya yang dilakukan Kian
Santang hanya berhasil mengislamkan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya
menyingkirkan diri. Akibatnya, Pajajaran menjadi berantakan. Legenda yang
dituturkan dalam Babad Pajajaran ini merupakan sebuah refleksi akan adanya
pergeseran kekuasaan dari raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam.
2. Masuknya
Portugis di Banten
pada
tahun 1522 portugis datang ke pajajaran di bawah pimpinan Henry leme dan di
sambut baik oleh pajajaran dengan maksud portugis mau membantu dalam menghadapi
ekspansi demak. Pada tahun 1522 portugis datang ke pajajaran di bawah pimpinan
Henry leme dan di sambut baik oleh pajajaran dengan maksud portugis mau
membantu dalam menghadapi ekspansi demak.
terjadilah
perjanjian sunda kelapa (1522) antara portugis dan pajajaran , yang isinya
sebagai berikut:
1.
portugis diijinkan mendirikan benteng di sunda kelapa
2.pajajaran
akan menerima barang – barang yang di butuhkan dari portugis termasuk senjata.
3.portugis
akan memperoleh lada dari pajajaran menurut kebutuhannya,
Dengan
semakin berkembang pesatnya kekuatan Islam di barat dan timur, timbul
kekhawatiran raja Pajajaran akan semakin terdesaknya agama Hindu selaku agama
resmi kerajaan dan juga lunturnya kekuasaan di di daerah pantai.
Untuk
mengantisipasi hal tersebut, Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di
Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata) melakukan :
•
Pembatasan
pedagang pedagang yang beragama Islam mengunjungi pelabuhan pelabuhan yang
berada di bawah kekuasaan Pajajaran.
•
Menjalin hubungan
persahabatan dan kerjasama dengan bangsa Portugis di Malaka, agar dapat
membantu Pajajaran bila diserang Kerajaan Demak, dengan mengutus putera mahkota
Pajajaran Ratu Sangiang atau Surawisesa ke Malaka.
3. Runtuhnya
Kerajaan Pajajaran
ketika
Raden Trenggono dinobatkan sebagai sultan Demak yang ketiga (1524) dengan gelar
Sultan Trenggono, ia semakin gigih berupaya menghancurkan Portugis di
Nusantara.
Di
lain pihak, Pajajaran justru menjalin perjanjian persahabatan dengan Portugis
sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggono untuk segera menghancurkan
Pajajaran. Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak, menyerbu
Banten (bagian dari wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya. Dalam
perjalanan menuju Banten, mereka singgah untuk menemui mertuanya, Syarif
Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak dan pasukan Cirebon bergabung menuju
Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, dan
Dipati Cangkuang. Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di
bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran. Gabungan pasukan
Demak dengan Cirebon bersama lascar marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak
mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Dengan demikian, pada tahun 1526
Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten dari
Pajajaran. Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten Girang
dipindahkan ke Surosowan, dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi dan politik,
pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara
pesisir Sumatra sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka. Situasi ini
berkaitan pula dengan situasi dan kondisi politik di Asia Tenggara. Pada masa
itu, Malaka telah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga pedagang-pedagang
yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke
Selat Sunda. Sejak saat itulah semakin ramai kapal-kapal dagang mengunjungi
Banten. Kota Surosowan (Banten Lor) didirikan sebagai ibu kota Kesultanan
Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin,
yang kelak menjadi sultan Banten yang pertama. Atas petunjuk Sultan Demak, pada
tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten. Pada
tahun 1552 Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan tetap
mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultannya. Ketika Kesultanan Demak
runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten
menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak. Sultan Maulana Hasanuddin
memerintah Banten selama 18 tahun (1552-1570). Ia telah memberikan andil
terbesarnya dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang
pendiri Kesultanan Banten. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran bangunan
berupa masjid dan sarana pendidikan islam seperti pesantren. Di samping itu, ia
juga mengirim mubaligh ke berbagai daerah yang telah dikuasainya. Usaha yang
telah dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarluaskan Islam dan
membangun Kesultanan Banten kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya.
Disamping itu keberadaan kesultanan Banten pada masa
lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah seperti Masjid Agung Banten yang didirikan
pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin. Seperti masjid-masjid
lainnya, bangunan masjid ini pun berdenah segi empat, namun kelihatan antik dan
unik. Bila diamati secara jelas, arsitekturnya merupakan perpaduan antara
arsitektur asing dan Jawa. Hal ini dapat dilihat dari tiang penyangga bangunan
yang jumlahnya empat buah di bagian tengah, mimbar kuno yang berukir indah,
atap masjid yang terbuat dari genteng tanah liat, melingkar berbetuk bujur
sangkar yang disebut kubah berupa atap tumpang bertingkat lima. Di dalam
serambi kiri yang terletak di sebelah utara masjid terdapat makam beberapa
sultan Banten beserta keluarga dan kerabatnya. Di halaman selatan masjid
terdapat bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang didirikan oleh Hendrik
Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk agama Islam
dengan gelar Pangeran Wiraguna. Dahulu, gedung Tiamah ini digunakan sebagai
majelis taklim serta tempat para ulama dan umara Banten mendiskusikan soal-soal
agama. Sekarang gedung tersebut digunakan sebagai tempat penyimpanan
benda-benda purbakala. Selain itu, di Kasunyatan terdapat pula Masjid
Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari Masjid Agung. Di masjid inilah tinggal
dan mengajar Kiai Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan, guru
Maulana Yusuf, sultan Banten yang kedua. Bangunan lain yang membuktikan
keberadaan Kesultanan Banten masa lampau adalah bekas Keraton Surosowan atau
gedung kedaton Pakuwan. Letaknya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Keraton
Surosowan yang hanya tinggal puing-puing dikelilingi oleh tembok- tembok yang
tebal, luasnya kurang lebih 4 hektar, berbentuk empat persegi panjang. Benteng
tersebut sekarang masih tegak berdiri, di samping beberapa bagian kecil yang
telah runtuh. Dalam situs (lahan) kepurbakalaan Banten masih ada beberapa
unsur, antara lain Menara Banten, Masjid Pacinan, Benteng Speelwijk, Meriam
Kiamuk, Watu Gilang dan pelabuhan perahu Karangantu.
Masa Raja/Sultan Banten ke-4
Sepeninggal Maulana Muhammad, tahta Kesultanan Banten diserahkan
kepada Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia lima bulan, sehingga
sampai dengan ia dewasa, kepemimpinan Kesultanan Banten dipegang oleh para Wali
pengasuhnya sebagai Patih Mangkubumi Kesultanan Banten.
Pada bulan Januari 1624, Sultan Abdul Mufakhir Mahmud
Abdulkadir (1596-1651) sepenuhnya memegang kekuasaan atas Kesultanan Banten,
karena ia dipandang sudah cukup dewasa.
Setelah memegang tahta Kesultanan Banten, bidang
pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat menjadi perhatian utama Sultan
Banten ini. Selain itu, ia pun berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan
negara-negara lain, terutama dengan negara-negara Islam. Sultan Abdul Mufakhir
dapat bersikap tegas misalnya ia menolak mentah-mentah kemauan VOC Belanda yang
hendak memaksakan monopoli perdagangan di Banten.
Keinginan VOC untuk melakukan monopoli perdagangan lada
merupakan sumber konflik antara Banten dan VOC. Konflik tersebut semakin
menajam, seiring dengan semakin kuatnya kedudukan VOC di Batavia sejak 1619.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut, VOC menerapkan blokade terhadap pelabuhan
niaga Banten dengan melarang dan mencegat jung-jung dari Cina dan perahu-perahu
dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten. Blokade ini mengakibatkan
pelabuhan Banten menjadi tidak berkembang sehingga mendorong orang-orang Banten
untuk memprovokasi VOC dengan cara menjadi “perompak” di laut dan “perampok” di
darat. Tindakan ini dibalas oleh VOC dengan melakukan ekspedisi ke Tanam,
Anyer, Lampung, dan Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade. Situasi ini
mendorong terjadinya perang antara Banten dan VOC pada Nopember 1633. Enam
tahun kemudian, kedua belah pihak menandatangani perjanjian perdamaian meskipun
selama dua dasawarsa berikutnya hubungan mereka tetap tegang.
Pada tahun 1636, beliau beserta sang putra mahkota, dari
Syarif Mekah dengan otorisasi Kesultanan Turki memberikan pengesahan gelar
Sultan kepada beliau dan putra mahkota. Dengan demikian beliau adalah Raja
Islam di Nusantara yang pertama kali resmi menggunakan gelar Sultan.
Beliau juga seorang alim Ulama yang saleh dan ahli dalam
bidang tasawuf. Beliau meninggalkan karya tulis yang berjudul Insan Kamil.
Pada 10 Maret 1651 beliau meninggal dunia dan dimakamkan
di Pemakaman Kenari Banten.
Masa Raja/Sultan Banten ke-5
Pada 1636, Syarif Mekkah di Arab di bawah otorisasi
Kesultanan Turki turut memberikan pula gelar sultan kepada putra Mahkota Sultan
Banten Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qodir, dengan gelar Sultan Abul Ma’ali
Ahmad. Penggelaran ini secara administratif membagi pembagian tugas sang putra
Mahkota sebagai Sultan Wakil yang membantu mengurus urusan dalam negeri Banten.
Sedangkan Sultan Penuh lebih mengurus urusan luar negeri Banten.
Sultan Abul Ma’ali Ahmad berjasa mengedarkan uang Banten
yang dibuat dari besi dan timah. Beliau meninggal lebih dulu daripada ayahnya
yakni pada tahun 1650, sehingga hak kepewarisan tahta jatuh kepada anak beliau
atau cucu dari Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir yakni kepada Pangeran
Surya yang bergelar Sultan Abul Fath Abdul Fattah alias Sultan Ageng Tirtayasa.
No comments:
Post a Comment